Wartasaburai.com – Peluncuran QRIS pada Hari Kemerdekaan RI ke-74 menandai era baru sistem pembayaran di Indonesia, yang membuat Visa dan Mastercard harus mempertimbangkan kembali dominasi mereka.
Bahkan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pun sampai mengkritik penggunaan QRIS.
AS menilai adaposi teknologi keuangan ini menghambat perdagangan digital dan membatasi akses perusahaan mereka ke pasar Indonesia.
Alasannya karena pembayaran menggunakan QRIS tidak kompatibel dengan sistem pembayaran internasional.
Padahal faktanya di lapangan, QRIS berhasil membuat transaksi pembayaran di Indonesia menjadi semakin ringkas.
Dulu sistem pembayaran terbilang cukup rumit, sebab Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) memiliki kode QR mereka masing-masing.
Oleh karena itu, pedagang pun harus memiliki berbagai macam stiker kode QR dari berbagai aplikasi pembayaran.
Sementara konsumen terpaksa memiliki banyak aplikasi hanya untuk bertransaksi di tempat yang berbeda.
Berdasarkan data yang dihimpun, Jumat (30/5/2025) Bank Indonesia (BI) dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) kemudian bekerjasama menyederhanakan kerumitan tersebut.
Mereka menyatukan berbagai format QR tersebut menjadi satu standar nasional yang dikenal sebagai QRIS.
Pengembangan QRIS mengadopsi standar global EMVCo (Europay, Mastercard, dan Visa) untuk memastikan interoperabilitas dan keamanan transaksi.
Setelah benar-benar matang, akhirnya hasil inovasi lokal BI dan ASPI ini resmi diluncurkan pada tanggal 17 Agustus 2019.
Setelah peluncurannya, BI secara bertahap mewajibkan seluruh PJSP untuk mengadopsi QRIS dengan batas waktu migrasi hingga 31 Desember 2019.
Langkah ini berhasil menyeragamkan berbagai kode QR menjadi satu dan hanya memerlukan satu aplikasi pembayaran yang mendukung QRIS.
Kini, BI tengah mengembangkan QRIS antarnegara (cross-border payment) untuk semakin memperluas manfaatnya.
Terutama untuk mendukung pariwisata dan UMKM yang bertransaksi secara internasional.